Ilmi, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2008 tak menyesal menonton film ini. “Film ini menarik sekali lho! Termasuk salah satu film pendek tapi panjang yang berani mengusung tema yang agak beda. Walaupun mengangkat tentang orientasi seksual, tetapi film ini dapat menjadi referensi untuk masyarakat jikalau menemukan hal serupa di kehidupan sehari – hari. Kita pun jadi tahu persepsi seputar LGBT”. Manda, Ilmu Komunikasi 2010, juga berasumsi bahwa film ini bagus untuk ditonton. “Ya walaupun ini kali pertama saya menyaksikan film seputar orientasi seksual, secara pribadi saya sudah tidak heran terhadap peristiwa ini. Jangan lihat dari sisi negatifnya dulu, sisi positifnya adalah kita dapat belajar untuk menjadi pribadi yang toleransi dan menghargai”, papar Manda.
Menyimak antusias peserta diskusi terhadap tanggapan film Sanubari Jakarta, Lola sangat senang dan menanggapi dengan positif. “Inilah tujuan kita mengapa mengadakan diskusi terbuka di lingkungan kampus. Kita ingin melakukan misi budaya bahwa film adalah jendela sekaligus agen budaya. Saya juga ingin berbagi dengan mendengar pendapat mahasiswa”, terang sang sutradara. Oleh karena itu, seiring perkembangan globalisasi yang didukung dengan pemahaman kosmopolitanisme, bahwa lewat filosofi atau the way of thinking baru ini, manusia di bumi dituntut untuk bertoleransi dan menghargai perbedaan. Maka tak heran, aktivis LGBT mendukung film ini. Mereka ingin keberadaan mereka juga diakui. “We are not corruptor, please do not jail us!”, ujar Dimas Harry, pemain dalam film Sanubari Jakarta sekaligus seorang aktivis LGBT.
Ketika peluncuran di khalayak umum, hingga saat ini tidak ada tanggapan negatif dari masyarakat. Oleh karena itu, tak segan IGAK Satria, dosen mata kuliah Jurnalistik, mengundang Lola untuk membawa filmnya di Fisip Unair. “Film ini menarik untuk didiskusikan. Ya, Fisip kan lingkungan yang demokratis. Jadi saya sebagai dosen mata kuliah ini menghadirkan diskusi ini bagian dari kuliah saya dan menambah wawasan untuk mahasiswa. Film ini juga berkaitan dengan mata kuliah gender, oleh karena itu saya berharap mahasiswa tidak akan sia – sia menghadiri acara ini”, jelas IGAK. Harapan IGAK lainnya adalah dalam pembelajaran, mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mendalami materi saja. Praktek sangat dibutuhkan dalam strategi pembelajaran. Oleh karena itu, berkaca dari kesuksesan diskusi Sanubari Jakarta, IGAK tak segan untuk mengadakan diskusi film lagi untuk ke depannya. “Saya ingin mengundang Sugiya bersama filmnya yang menceritakan kehidupan seorang Pendeta Katolik di Semarang. Selain itu saya juga akan menghadirkan diskusi film seputar NII dan korupsi”, ujarnya. (dkr)



0 comments:
Post a Comment